Lihat aku.
Lihat dirimu.
Kita adalah serentetan sejarah. Kita adalah kejadian dari
serangkaian proses dimasa lalu. Kita adalah bagian sebab akibat dari hidup ini.
Kita adalah penerimaan dari segala keputusan yang membahagiakan maupun melukakan.
Kita kini, karena kita pernah.
Ya, hal-hal dalam hidup kita memang (banyak) berakhir dengan
“pernah” saja. Ia menjadi kenangan dan tidak hidup saat ini. Ia ada namun semu.
Seperti aku pernah membencimu, maka perasaan itu tidak
terjadi saat ini. Disana, jauh.
Dari “pernah” itu, perhatikanlah bahwa kita menggenggam
sesuatu saat ini. Dan semoga hal paling berarti dari “pernah” sanggup kita sadari
sebaik-baiknya. Hal yang paling berarti itu adalah pengalaman, hal yang berarti
itu juga adalah pelajaran.
Salah satu sebab kita hidup lebih baik hari ini adalah juga
sebab “pernah”. Ia adalah pupuk yang menumbuhkan kita, ia adalah air yang
menyegarkan kita. Maka kepada “pernah” jangan lupa berterimakasih, pun apabila
ia adalah sesuatu yang sungguh membuat kita menanggung sesal tak berkesudahan. Ia
tetap berhak atas itu.
.
.
Saat menulis ini suatu hari itu, aku sedang membayangkan
tentang harapan-harapanku pada sesuatu dan beberapa orang yang tiba-tiba menghantam
dinding kamar dan aku terpental penuh luka. Kemudian aku lari dan terus lari. Bukan
sebab betapa pengecutnya aku tapi aku
berlari untuk menghabiskan semua harapan-harapan itu. Membiarkan mereka
tercecer dijalan bersama luka-luka yang berjatuhan.
Dan lucunya, aku justru membangun harapan baru bahwa nanti
diujung sana,saat lelahku memeluk aku telah selesai dengan harapan itu. Dan ya,
aku selesai. Begitu saja.