Jumat, 15 Februari 2019

MARRIED NOT DATING (1)


Dapet tugas ngetik catetan 21 lembar A4. Niatnya digarap tiap hari biar cepet beres tapi hari ini cuma tinggal selembar tapi tangan seolah menolak keras. Oke, saya nulis blog aja. Saya tiba-tiba inget umur, udah tua, udah pantes gendong anak. Tapi calon bapaknya aja masih dalam angan-angan tsay…

Terus gimana?

Ya ngga papa.

Cuma kalo ngomongin nikah, awalnya, pas masuk kuliah semester awal saya target usia 23 tahun sudah nikah. Kemudian seiring berjalanya kereta menuju Jakarta, saya mulai diperlihatkan berbagai macam cerita pernikahan. Ada yang adem-ayem, ada yang romantis ngga ketulungan, ada yang tiap hari omonganya cerai-cerai mulu, ada yang bikin termotivasi buat nikah soon, ada yang ngomongin jeleknya pasangan ngga habis-habisnya,dll. That’s mean nikah itu ngga mudah. Terus sulit dong ? berat dong ? engga juga sih.

Saya yakin apa-apa saja yang ditetapkan Tuhan untuk umatnya, baik sunah maupun wajib adalah berdasarkan ukuran kesanggupan manusia. Saya yakin nikah itu mudah dan gampang, cuma kita aja yang mempersulitnya dengan standar kita. Kalo lahir dan batin kita siap yaa nikahlah. Siap secara lahir itu seperti kalo buat laki-laki sudah bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga secara lahir dan batin. Keduanya sudah cukup ilmu tentang pernikahan juga penting sebagai bentuk kesiapan menikah. Siap secara batin dapat dilihat dengan tanggung jawabnya ia dengan dirinya sendiri.

Setelah kamu baca tulisan ini sampai paragraph ini dan kamu merasa nikah memang mudah, saya harap tidak lantas kamu menganggap ini jadi urusan sederhana. Jangan. Nikah itu dunia dan akhirat mas. Jangan nganggap nikah sebatas kehalalan melampiaskan nafsu biologis manusia buat berkembang biak aja atau mikirin sekedar yang media tampilkan dari pernikahan artis-artis penggerak nikah muda.

Nikah itu mitsaqon ghalidzon, perjanjian yang kukuh, kuat dan berat. Karena perjanjian ini disetarakan dengan perjanjian Allah dengan Rasul-Nya yang berpredikat Ulul Azmi. It’s mean nikah bukan main-main yang kalo bosen buang terus cari lagi, astaghfirullah.

Kemudian selanjutnya adalah nikah itu mau kapan terserah Allah aja. Ngga ada peraturan bahwa orang yang lahir tahun 1996 harus menikah tahun 2019, yang lahir tahun 2000 harus menikah tahun 2025. Ngga ada tsay, semua sudah diatur secara detil dan presisi. Kalo setelah saya renungi (ceile), jika sebagian teman menikah diusia 23 misal dan kita mah masih nge-jomblo aja, khuznudzon kita sedang melalui sejarah yang luar biasa untuk diceritakan pada junior-junior kita kelak. Dan dalam rangka menunggu bakal janur kuning itu, saya sangat-sangat berharap kita semua benar-benar menjaga diri.

Sebab salah satu prioritas tujuan menikah adalah Ridho-Nya Allah. So, gimana Dia bakal give us Ridho jikalau kita melakukan sesuatu yang justru bisa ngundang murka Nya karena saking ngga sabarnya kita.


...

Minggu, 20 Januari 2019

PERNAH.


Lihat aku.

Lihat dirimu.

Kita adalah serentetan sejarah. Kita adalah kejadian dari serangkaian proses dimasa lalu. Kita adalah bagian sebab akibat dari hidup ini. Kita adalah penerimaan dari segala keputusan yang membahagiakan maupun melukakan. Kita kini, karena kita pernah.

Ya, hal-hal dalam hidup kita memang (banyak) berakhir dengan “pernah” saja. Ia menjadi kenangan dan tidak hidup saat ini. Ia ada namun semu.

Seperti aku pernah membencimu, maka perasaan itu tidak terjadi saat ini. Disana, jauh.

Dari “pernah” itu, perhatikanlah bahwa kita menggenggam sesuatu saat ini. Dan semoga hal paling berarti dari “pernah” sanggup kita sadari sebaik-baiknya. Hal yang paling berarti itu adalah pengalaman, hal yang berarti itu juga adalah pelajaran.
Salah satu sebab kita hidup lebih baik hari ini adalah juga sebab “pernah”. Ia adalah pupuk yang menumbuhkan kita, ia adalah air yang menyegarkan kita. Maka kepada “pernah” jangan lupa berterimakasih, pun apabila ia adalah sesuatu yang sungguh membuat kita menanggung sesal tak berkesudahan. Ia tetap berhak atas itu.
.
.
Saat menulis ini suatu hari itu, aku sedang membayangkan tentang harapan-harapanku pada sesuatu dan beberapa orang yang tiba-tiba menghantam dinding kamar dan aku terpental penuh luka. Kemudian aku lari dan terus lari. Bukan sebab  betapa pengecutnya aku tapi aku berlari untuk menghabiskan semua harapan-harapan itu. Membiarkan mereka tercecer dijalan bersama luka-luka yang berjatuhan.

Dan lucunya, aku justru membangun harapan baru bahwa nanti diujung sana,saat lelahku memeluk aku telah selesai dengan harapan itu. Dan ya, aku selesai. Begitu saja.