Sahabatku kini sudah hebat. Sudah dewasa dan tangguh. Menjelajah
setapak-setapak jauh dan wajah-wajah yang rupa-rupa. Merangkum banyak hikmah
yang (PASTI) memperbaiki banyak perspektif akan banyak hal. Menjadi dewasa
tidak hanya karena usia yang semakin senja tapi karena sepenuhnya pada usianya
itulah semua itu harus dimilikinya.
Entah sampai dibumi mana kini ia menulis kisahnya, dalam
percayaku Tuhan amat bahagia mengamini segala cita dan proses yang dipilihnya. Dia
memulai dari nol, dari kebaikan kecil barangkali, kemudian tumbuh, kecil,
sedang dan kemudian tinggi. Atau kecil, sedang kemudian besar. Terserahlah.
Aku barangkali adalah orang yang paling menyebalkan bagi
hidupnya. Tentu saja. Tidak begitu suka rela menghubunginya untuk berbasa-basi
sekerdar “apa kabar?” atau “Hai…”. Aku pelit atau boleh kuterjemahkan lain
dengan takut. Takut yang menjalar kesemua orang,sih.
Bagi orang yang mengenalnya (beberapa) dan aku kenal, ia
adalah manusia menyebalkan, tingkat dewa, dewa matahari. Ya, setidaknya itu
yang ku dengar dari “mereka”. Namun, aku selalu punya perspektif tersendiri
untuk menilainya sebagai manusia “normal”.
Kenapa aku begitu asyik membicarakan dia, Adida?
Dia sahabat yang baik, dia menarik dengan cara pandangnya,
dia aneh, tapi aku lebih aneh. Dia satu yang ngajarin banyak hal, tentang
berpikir dan merasai. Belajar dari hal kecil, belajar dari sakit, belajar dari
ini, itu, belajar, belajar, dan belajar. Terus dan banyak.
Aku berterimakasih banyak, banget, berkali-kali. Sebatas berahasia
kata-kata dengan Tuhan sebagai balasan untuknya. Ketika nanti tak lagi menemukanya
atau justru menemukannya dipuncak dunia ia telah berada, sebagai sahabat
seorang dari masalalu dalam potret monokrom, aku akan berhamdalah sekian kali,
tersenyum dan bangga.
Selamat berkarya, bertumbuh dengan bijak.